Wednesday, December 22, 2010

Nasi Kucing dan Angkringan Jogja

NASI KUCING



Bagi mahasiswa yang pernah tinggal di Jogja, pasti mengenal nasi kucing ato sego kucing. Itu merupakan makanan wajib yang ada di setiap angkringan. Sego kucing ini adalah nasi yang dibungkus dengan lauk sambal teri atau oseng tempe. Harganya yang murah dan porsi yang pas ternyata membuat sego kucing menjadi makanan yang cukup laris di angkringan, biasanya diburu para mahasiswa. Banyak mahasiswa yang menyantap sego kucing setiap malamnya. Biasanya sego kucing dijual dengan harga antara Rp 750-Rp 1.500 setiap bungkusnya, tergantung tempatnya.  Lauk sego kucing ini biasanya hanya satu macam. Tetapi di angkringan disediakan juga berbagai macam lauk. Lauk-lauk yang disediakan antara lain sate usus, ati ampela dan gorengan seperti tempe mendoan dan bakwan. Nasi yang dibungkus dengan daun pisang atau kertas ini disebut nasi kucing karena porsi yang tidak banyak dan lauknya sambal teri. Sambal teri inilah yang membuat khas seperti lauk untuk kucing.


ANGKRINGAN


Angkringan adalah tempat berjualan berbagai macam makanan yang ada di hampir setiap ruas jalan dan gang Jogjakarta. Kalau boleh mendiskripsikan, angkringan itu berwujud seperti sebuah gerobak dorong yang berisi penuh makanan dan jajan, beroperasi di sore, malam dan dinihari dan menggunakan penerangan lampu senthir (kebanyakan) serta temaramnya lampu-lampu mercury jalanan Jogja. Makanan khas yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telor puyuh, kripik dan lain-lain. Nasi kucing (dalam bahasa Jawa disebut “sega kucing“) bukanlah suatu menu tertentu, tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada angkringan. Dinamakan “nasi kucing” karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Konsumen angkringan, meski sering dicap sebagai warung rendahan, pada kenyataannya terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari tukang becak, anak2 perantauan, mahasiswa, budayawan dan seniman, karyawan hingga eksekutif kadang tak sungkan menghabiskan malam untuk menyantap makanan dan minum teh jahe di Angkringan. Perilaku konsumen pun bermacam-macam di sana. Ada yang hanya membeli untuk dibawa pulang, ada pula yang membeli, makan sebentar lalu pulang, namun yang paling sering ditemui adalah membeli, ngobrol, membeli lagi, dan ngobrol lagi di warung angkringan bersama rekan maupun “rekan-rekan” baru yang ditemui dan di kenal di sana. Otomatis, di angkringan tidak ada pembedaan strata sosial, agama maupun ras. Mereka semua sama di keremangan lampu senthir, sebagai sosok anak manusia yang makan dan minum dari tangan penjual yang sama.
 

No comments:

Post a Comment